Daftar Isi
MUDA BELIA– Publik Lampung kembali digemparkan dengan kasus SMA swasta Siger, yang kini ramai disebut The Killer Policy. Sekolah yang dibangun atas inisiasi Wali Kota Eva Dwiana ini bukan sekadar polemik pendidikan, tetapi juga simbol keruntuhan etika dan tata kelola pemerintahan daerah.
SMA Siger disebut ilegal karena penerbitan izin pendiriannya melanggar ketentuan Perda Nomor 9 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa pengelolaan dan penerbitan izin sekolah menengah berada sepenuhnya di bawah kewenangan pemerintah provinsi, bukan pemerintah kota atau kabupaten. Ironisnya, dalam kasus ini, Gubernur Lampung tidak berperan signifikan dalam mengawasi penyelenggaraan sekolah, sementara DPRD Kota Bandar Lampung tampak “mengambil alih” fungsi yang semestinya berada di tangan DPRD Provinsi.
Kontroversi Publik dan Penelusuran Media
Beberapa unggahan video kader partai Nasdem, M. Nikki Saputra, dan konten TikTok PKS beberapa bulan terakhir memperlihatkan jelas siapa yang merencanakan penyelenggaraan SMA Siger. Tidak ada keterlibatan pemerintah provinsi, meskipun Dewan Pendidikan Lampung hadir sebagai lembaga independen. Namun, Dewan Pendidikan bukan pihak yang berwenang mengeluarkan izin operasional sekolah.
Yang lebih mengejutkan, eksekutif dan legislatif daerah provinsi tetap diam, meskipun jelas-jelas ada indikasi pelanggaran terhadap wilayah kerja mereka. Bahkan, sidak yang dilakukan ke SMA Siger hanya dilakukan oleh pimpinan DPRD Kota Bandar Lampung, yang justru mendukung kelanjutan operasional sekolah tersebut. Padahal, sekolah ini melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang disahkan oleh Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri.
Ketua Komisi V DPRD Provinsi Lampung, Yanuar Irawan, yang berasal dari PDI Perjuangan, disebut tidak menanggapi permohonan klarifikasi publik terkait SMA Siger. Padahal, beberapa hari sebelum pendaftaran murid baru, puluhan kepala sekolah swasta telah melaporkan praktik mal administrasi sekolah ini dalam rapat dengar pendapat di ruang Komisi V DPRD Provinsi Lampung. Rapat tersebut dihadiri Syukron (PKS), Junaidi (Demokrat), dan Chondrowati (PDI Perjuangan), namun hasilnya dinilai sia-sia karena tidak ada tindakan konkret.
Pelanggaran dan Praktik Kontroversial
Hingga saat ini, SMA Siger tetap menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, termasuk praktik jual beli modul kepada siswa. Praktik ini jelas bertentangan dengan prinsip pendidikan, karena modul seharusnya disediakan secara resmi dan tidak dijual secara bebas. Ketua Komisi IV DPRD Bandar Lampung, Asroni Paslah, enggan memberikan klarifikasi, begitu juga Ketua DPRD Kota Bandar Lampung, Bernas.
Selain itu, SMA Siger menerima jatah MBG tanpa prosedur data dapodik dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menimbulkan pertanyaan serius mengenai legitimasi operasional sekolah. Publik juga masih mempertanyakan siapa ketua dan pengurus yayasan yang sebenarnya. Ada yang menyebut Khaidirsyah sebagai pengurus, sementara wali murid menyebut eks Kadis Pendidikan Kota Metro sebagai ketua.
Dukungan Eksekutif dan Legislasi Daerah
Polemik semakin pelik karena dana dan aset pemerintah kota Bandar Lampung digunakan untuk mendukung operasional sekolah ini. DPRD kota bahkan diduga memberikan dukungan politis dan administratif, sementara pemerintah provinsi seolah membiarkan pelanggaran berlangsung tanpa intervensi.
Tindakan Hukum yang Tertunda
Publik juga menyoroti peran penegak hukum. Laporan mengenai SMA Siger sudah diajukan ke Polda Lampung. Namun, laporan tersebut diubah menjadi Dumas dengan alasan lex spesialis. Hingga seminggu kemudian, pelapor belum dipanggil untuk klarifikasi, sehingga menimbulkan pertanyaan besar mengenai independensi dan keseriusan aparat hukum dalam menindak pelanggaran yang terang-terangan melanggar UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kesimpulan
Kasus SMA Siger menyoroti krisis etika dan tata kelola di Lampung, yang mencakup pengabaian hukum oleh pejabat eksekutif dan legislatif, ketidakberdayaan gubernur, serta lemahnya penegakan hukum. Sekolah ini bukan sekadar masalah pendidikan, tetapi juga cermin konflik kepentingan politik, penyalahgunaan aset publik, dan ketiadaan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan daerah. Publik kini menunggu langkah tegas dari pemerintah provinsi dan aparat hukum untuk menghentikan operasional sekolah ilegal ini.***


















