Daftar Isi
MUDA BELIA– Dunia pendidikan di Kota Tapis Berseri lagi-lagi bikin publik geleng-geleng kepala. Gara-gara kasus bullying di salah satu SMP Negeri, jagat maya langsung heboh! Bukan cuma karena ada anak yang harus berhenti sekolah, tapi juga karena Wali Kota Eva Dwiana dan pengacara dari tim Hotman Paris, Putri Maya Rumanti, saling lempar komentar panas di Instagram.
Drama ini pecah pada Rabu, 22 Oktober 2025. Awalnya, Putri Maya Rumanti—yang dikenal blak-blakan dan tajam dalam bicara—ngegas lewat postingan Instagram. Dia menuding pemerintah kota, provinsi, dan DPRD cuma peduli sama rakyat pas lagi mau pencitraan.
“Mau kota, gubernur, dinas, dan DPRD, buka mata dan hati kalian. Coba turun ke lapangan. Banyak orang yang butuh bantuan,” tulis Putri, yang menyoroti kasus anak perempuan korban bullying di SMP Negeri Bandar Lampung sampai terpaksa berhenti sekolah.
Postingan itu langsung viral dan nyamber ke mana-mana. Publik pun ikut panas, apalagi karena yang disentil adalah pejabat daerah. Gak lama kemudian, Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana—yang dikenal dengan sapaan “Bunda Eva”—langsung nimbrung di kolom komentar akun Putri Maya.
Eva berusaha menenangkan situasi, tapi komentarnya malah bikin makin ramai. “Alasan anak ini tidak bersekolah di SMP Negeri karena ada hal yang tak elok disampaikan secara terbuka. Biarlah jadi pembelajaran bagi kita semua bahwa penting untuk saling menghormati dan tidak menyakiti orang lain,” tulisnya.
Namun, yang bikin netizen makin geram adalah ketika Eva menambahkan kalau si anak ternyata bukan warga Bandar Lampung, melainkan warga Kabupaten Pesawaran. “Izin menginformasikan ya kakak, adik ini adalah warga Desa… Kecamatan Gedong Tataan,” tulis akun resmi @lapor_bundaeva.
Komentar itu langsung menuai reaksi keras. Banyak warganet menilai pernyataan Eva seperti “cuci tangan” dari tanggung jawab moral. Padahal, korban tetap bersekolah di SMP Negeri di wilayah Bandar Lampung—yang jelas-jelas masih di bawah tanggung jawab Pemkot.
Situasi makin runyam karena pihak sekolah juga belum menunjukkan langkah konkret untuk mengusut kasus bullying tersebut. Kepala sekolah hanya mengakui bahwa korban memang sempat bersekolah di sana. Tapi sayangnya, gak ada upaya nyata untuk mencari keadilan bagi korban, yang kini malah berhenti dari sekolah formal dan memilih jalur pendidikan paket.
“Kalau sudah sampai anak berhenti sekolah karena dibully, itu bukan cuma gagal mendidik, tapi juga gagal melindungi. Sekolah seharusnya jadi tempat aman, bukan tempat trauma,” komentar salah satu pemerhati pendidikan di Lampung.
Kasus ini jelas bukan cuma urusan anak-anak yang berantem di sekolah. Ini alarm keras buat dunia pendidikan di Lampung—tentang empati, tanggung jawab, dan keberanian untuk melindungi siswa. Kalimat “pembelajaran bagi semua pihak” gak akan ada artinya kalau gak diikuti tindakan nyata: tindak pelaku, perkuat pengawasan, dan pastikan gak ada anak yang kehilangan hak belajar gara-gara takut sekolah.
Kini publik menunggu langkah konkret dari Pemkot Bandar Lampung, Dinas Pendidikan, dan pihak sekolah. Akankah mereka bener-bener bertindak? Atau kasus ini cuma akan jadi trending sesaat sebelum tenggelam lagi di timeline media sosial?
Satu hal yang pasti: dunia pendidikan di Bandar Lampung lagi diuji. Antara empati dan pencitraan, antara tanggung jawab dan alasan administratif. Rakyat nunggu, dan generasi muda menuntut keadilan.***














