Daftar Isi
- You might also like
- Skandal PI 10% PT LEB Bikin Penasaran, Kejati Lampung Masih Bungkam!
- Bandar Lampung Heboh! Drama Bullying di SMP Negeri Jadi Viral, Wali Kota & Tim Hotman Paris Saling Nyindir di Instagram
- SMP 13 Bandar Lampung Buming! Kasus Bullying Remaja Picu Keprihatinan Publik
- Realisme Satire dan Kritik Sosial
- Satire sebagai Alat Perlawanan
- Makna Sosial dan Kesadaran Publik
- Puisi Sebagai Kesadaran Politik dan Moral
MUDA BELIA – Puisi modern semakin menunjukkan kebebasan ekspresinya, meninggalkan batasan klasik soal rima dan irama, untuk menjadi medium kritik sosial, politik, dan moral. Salah satu karya yang menonjol adalah puisi “Administrasi Kesedihan” oleh Muhammad Alfariezie, penyair asal Bandar Lampung, yang mengusung gaya realisme satir. Karya ini menyoroti persoalan birokrasi, kepemimpinan, dan ketidakadilan sosial dengan bahasa lugas namun sarat ironi.
Puisi ini menjadi cermin bagi kota Bandar Lampung, menghadirkan potret getir di balik kemegahan kota. Dalam bait pembuka:
Bandar Lampung menyedihkan
bukan karena kaum pelangi
atau menyandang pembenci rapi
dan bersih tapi karena wali kotanya
Bait ini menegaskan bahwa sumber kesedihan kota bukan berasal dari warganya, melainkan dari pemimpin yang kehilangan empati dan arah kebijakan. Muhammad Alfariezie menolak narasi umum yang sering menyalahkan kelompok sosial tertentu dan mengalihkan kritiknya pada struktur kekuasaan yang berjarak dari rakyat.
Realisme Satire dan Kritik Sosial
Realisme satir dalam puisi ini merupakan kombinasi antara kejujuran sosial dan sindiran tajam terhadap birokrasi dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat pra sejahtera. Dalam kerangka teori sastra, György Lukács menekankan realisme sebagai usaha menyingkap kontradiksi sosial, sementara Jonathan Swift dan George Orwell menggunakan satire sebagai alat menyindir kekuasaan tanpa kehilangan estetika. Muhammad Alfariezie memadukan kedua pendekatan ini, menghasilkan karya yang lugas sekaligus mengiris nurani pembaca.
Salah satu bait yang menohok berbunyi:
Menjadikan bunda ancaman
masa depan remaja pra sejahtera!
Kata “bunda” menjadi simbol kepemimpinan perempuan yang seharusnya melindungi rakyat, namun dalam puisi ini berubah menjadi representasi ironis atas kebijakan yang menekan generasi muda. Dalam teori dekonstruksi moral, bait ini memperlihatkan bagaimana nilai keibuan dapat dimanipulasi menjadi kekuasaan yang menakutkan bila kehilangan empati.
Bait lain:
Menjadikan miliaran rupiah
tumpukan kertas tanpa guna!
menggambarkan kemandegan birokrasi dan penyalahgunaan anggaran publik. “Tumpukan kertas” menjadi metafora yang cerdas, menegaskan ketidakefisienan sistem birokrasi dan alienasi sosial seperti dikritik Karl Marx, di mana uang dan dokumen menjadi berhala yang menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan sejati.
Satire sebagai Alat Perlawanan
Puisi ini menggunakan satire sebagai medium dialog sosial, sesuai pandangan Mikhail Bakhtin, di mana satire menjadi sarana suara tertindas untuk berbicara kepada yang berkuasa. Puisi tidak menyerang individu secara personal, tetapi menohok sistem yang menimbulkan luka sosial. Alfariezie menghadirkan kritik secara estetis: ironi sebagai senjata, bahasa sederhana namun tajam sebagai sarana perlawanan terhadap kesewenang-wenangan birokrasi.
Makna Sosial dan Kesadaran Publik
“Administrasi Kesedihan” lahir dari konteks kota yang seringkali dikemas dengan jargon moral, namun minim tindakan nyata. Muhammad Alfariezie mengajak publik untuk merenungi ulang makna kepemimpinan dan tanggung jawab sosial. Puisi ini menegaskan bahwa kesedihan kota bukan berasal dari warganya, melainkan dari pemimpin yang lupa mendengar suara nurani:
“Bandar Lampung menyedihkan bukan karena rakyatnya, tapi karena penguasa yang lupa arah.”
Karya ini berfungsi sebagai cermin sosial. Masyarakat diajak melihat realitas kota mereka—apakah mereka masih mampu bertindak, atau justru pasif menatap kerusakan yang dianggap biasa.
Puisi Sebagai Kesadaran Politik dan Moral
Melalui kerangka realisme satir, puisi ini membuktikan bahwa sastra bukan sekadar seni kata, tetapi juga sarana kesadaran politik dan moral. Ironi dan simbolisme yang digunakan membuka mata publik akan dampak kebijakan yang salah arah, menunjukkan bagaimana luka sosial bisa muncul dari ketidakpedulian penguasa.
Karya Muhammad Alfariezie ini menegaskan sastra keterlibatan (engagé literature), di mana penyair turun langsung ke wilayah kritik sosial. Pesan yang ditinggalkan adalah getir namun jujur: kota yang menyedihkan bukanlah kota tanpa gedung, melainkan kota tanpa nurani.***


















