Daftar Isi
- You might also like
- Bupati Tanggamus Bahas Hilirisasi Pertanian dan Penguatan Infrastruktur Bersama Tani Merdeka Indonesia, Fokus Dorong Kesejahteraan Petani
- Mahasiswa ITERA Dorong Pertanian Modern di Desa Bagelen Lewat Pelatihan Hidroponik Vertical Farming
- Komisi 5 DPRD Lampung Dituding Tutup Mata, Sekolah Swasta Terancam “Suntik Mati”
MUDA BELIA— ketika Indonesia merayakan satu abad kemerdekaan. Di hamparan wilayah Jati Agung, Lampung, berdiri megah Kota Baru yang hidup, cerdas, dan ramah lingkungan. Dari udara, pemandangan menakjubkan terbentang: kendaraan listrik meluncur tanpa polusi, menghubungkan pusat pemerintahan, kawasan perumahan, kampus, dan taman keanekaragaman hayati. Gedung-gedung pemerintahan memantulkan cahaya matahari dari atap surya mereka, sementara anak-anak bersepeda ke sekolah di jalur hijau yang rindang. Tak ada lagi hiruk pikuk asap knalpot, hanya harmoni antara manusia, teknologi, dan alam. Itulah gambaran peradaban baru yang bisa lahir di ujung selatan Sumatra — jika visi pembangunan ekologis benar-benar diwujudkan.
Visi ini bukanlah khayalan futuristik, melainkan panggilan nyata bagi kita untuk membangun Kota Baru Lampung dengan paradigma baru — paradigma yang menempatkan manusia bukan sebagai penguasa alam, tetapi sebagai penjaganya. Pembangunan modern mengajarkan bahwa kota bukan sekadar tumpukan beton dan jalan raya, melainkan organisme sosial yang bernafas, berpikir, dan berinteraksi dengan manusia di dalamnya. Membangun kota berarti membangun kesadaran kolektif dan nilai kemanusiaan yang berkelanjutan.
Kota Baru Lampung tidak boleh hanya dipandang sebagai proyek infrastruktur semata, tetapi sebagai simbol kebangkitan cara berpikir baru di era transformasi ekologis dan digital. Lampung saat ini menghadapi backlog perumahan sekitar 37 persen; lebih dari seperempat warganya masih tinggal di rumah yang tidak layak huni. Berdasarkan data Public Housing and Settlement Information Center (2024), kualitas hunian memiliki korelasi langsung dengan tingkat kesejahteraan dan produktivitas masyarakat. Oleh karena itu, Kota Baru Lampung harus menjadi solusi dua arah: mengatasi kekurangan rumah sekaligus menciptakan lingkungan hidup yang sehat, hijau, dan efisien energi.
Konsep eco-smart city adalah jawaban masa depan. Kota yang dibangun dengan teknologi cerdas, sistem transportasi bersih, dan tata kelola digital bukan hanya menjawab kebutuhan fisik, tetapi juga spiritual masyarakat. Dalam konsep ini, energi terbarukan menjadi sumber utama, limbah dikelola dengan prinsip sirkular, dan ruang publik dirancang untuk memperkuat interaksi sosial.
Namun, membangun gagasan besar ini tidak mungkin dilakukan sendirian. Kolaborasi adalah kunci. Prinsip pentahelix — sinergi antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas, dan media — harus menjadi napas utama pembangunan. Pemerintah bertindak sebagai pengarah kebijakan jangka panjang yang menjamin kesinambungan lintas periode. Dunia usaha dan asosiasi seperti Himperra (Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan Rakyat) menjadi motor penggerak investasi hijau, menghadirkan hunian terjangkau dan berkelanjutan. Akademisi, seperti dari kampus ITERA, berperan dalam riset dan inovasi, menciptakan sistem transportasi listrik atau pengelolaan air berbasis sensor digital. Sementara itu, komunitas dan media menjadi penjaga moral dan transparansi, memastikan pembangunan tidak menyimpang dari kepentingan rakyat dan kelestarian alam.
Pemerintah Provinsi Lampung sendiri telah menyiapkan rencana pengembangan Kota Baru di lahan seluas ±1.308 hektare, dengan pembagian kawasan untuk pusat pemerintahan, pendidikan, dan perumahan rakyat sekitar 263 hektare. Rencana ini masuk dalam prioritas RPJMD 2025–2029 dan telah memperoleh dukungan DPRD. Tantangan utamanya terletak pada pendanaan dan tata kelola, di mana kreativitas finansial menjadi keharusan. Salah satu solusi potensial adalah penggunaan Kredit Program Perumahan (KPP) dari Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagai sumber modal bagi pengembang UMKM membangun rumah hijau berbiaya efisien.
Dengan sistem blended finance, proyek eco-smart city dapat menggabungkan dana publik, swasta, CSR, dan obligasi hijau daerah. Pembentukan Badan Pengelola Kawasan Kota Baru (SPV) sangat krusial untuk memastikan keberlanjutan proyek di tengah dinamika politik. SPV harus bekerja secara digital, transparan, dan akuntabel, mulai dari perizinan, akuisisi lahan, hingga monitoring dampak lingkungan. Sertifikasi lahan, penataan tata ruang, dan insentif fiskal perlu segera diselesaikan untuk menarik kepercayaan investor sekaligus melindungi hak masyarakat lokal.
Lebih jauh, Kota Baru Lampung dapat dirancang sebagai laboratorium ekonomi sirkular pertama di Sumatra. Pengelolaan limbah dapat dilakukan secara desentralisasi, energi surya komunitas digunakan untuk kebutuhan perumahan, taman keanekaragaman hayati dijadikan paru-paru kota, dan kawasan komersial dikembangkan dengan prinsip rendah karbon yang mengutamakan produk UMKM lokal. Dengan model ini, Kota Baru Lampung bisa menjadi contoh transformasi hijau yang seimbang antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Filsuf ekonomi Tim Jackson pernah mengungkap konsep “prosperity without growth” — kesejahteraan tanpa harus terus menekan bumi. Prinsip ini sangat relevan bagi Lampung: kemajuan tidak diukur dari jumlah bangunan, tetapi dari kualitas hidup, solidaritas sosial, dan keseimbangan ekologis.
Bayangkan dua puluh tahun lagi, saat kita menengok kembali Kota Baru Lampung. Kota ini telah menjadi pusat pemerintahan modern, magnet investasi hijau, dan tempat hidup yang menyehatkan jiwa. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang aman dan bersih, kaum muda bekerja di sektor teknologi bersih, dan masyarakat hidup dalam harmoni tanpa jurang sosial mencolok.
Membangun kembali Kota Baru Lampung bukanlah proyek fisik semata, tetapi juga proyek peradaban. Ketika semua unsur bersinergi — pemerintah yang visioner, pengusaha yang peduli lingkungan, akademisi yang inovatif, masyarakat yang partisipatif, dan media yang kritis — maka lahirlah kota yang bukan hanya tempat tinggal, tetapi tempat tumbuhnya nilai-nilai kehidupan. Seperti yang dikatakan filsuf Martin Heidegger, manusia sejatinya tidak hanya “tinggal di bumi”, tetapi “menjaga bumi agar tetap layak ditinggali”. Inilah makna sejati dari eco-smart city: membangun tanpa merusak, tumbuh tanpa serakah, dan hidup berdampingan dengan alam dalam keseimbangan yang berkelanjutan.***