Daftar Isi
- You might also like
- Membangun Kembali Kota Baru Lampung Menuju Eco-Smart City Ramah Lingkungan
- Bupati Tanggamus Bahas Hilirisasi Pertanian dan Penguatan Infrastruktur Bersama Tani Merdeka Indonesia, Fokus Dorong Kesejahteraan Petani
- Mahasiswa ITERA Dorong Pertanian Modern di Desa Bagelen Lewat Pelatihan Hidroponik Vertical Farming
MUDA BELIA– Polemik pendidikan di Provinsi Lampung kembali memanas. Komisi 5 DPRD Lampung dikritik karena terindikasi senyap atas rencana pembukaan jurusan baru di SMK Negeri 5 Bandar Lampung dan SMK khusus seni di Taman Budaya pada tahun ajaran 2026/2027. Kritikus menilai langkah ini berpotensi “menyuntik mati” sekolah swasta yang saat ini tengah bergelut dengan keterbatasan dana dan murid.
Pembukaan jurusan baru dan SMK baru merupakan hasil dialog Dewan Kesenian Lampung dengan Dirjen Kebudayaan Republik Indonesia, kemudian dibawa ke Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, oleh anggota Komisi 5 DPRD Deni Ribowo. Kepala sekolah swasta pun merasa khawatir, terutama karena pada 2025 tidak ada BOSDA dari Pemprov, dan BOP untuk tahun depan belum jelas.
“Pada 2025, hanya sekitar 2.000 siswa dari 14.000 lebih lulusan SMP yang bisa mereka tarik. Ini jelas mengancam eksistensi sekolah swasta,” kata seorang kepala sekolah swasta yang enggan disebutkan namanya. Ia menyoroti kejanggalan overload rombel di SMK Negeri 5, di mana 1.428 siswa harus menempati 26 ruang kelas, sementara rombel mencapai 44.
Sebelumnya, Forum Komunikasi Kepala Sekolah (FKKS) se-provinsi Lampung sudah pernah menggelar hearing dengan Komisi 5 DPRD pada 7 Juli 2025, namun keluhan terkait penyelenggaraan SMA swasta ilegal “Siger” belum ditindaklanjuti. Sekolah ini terbukti melanggar sedikitnya 9 peraturan perundang-undangan, termasuk UU Nomor 20 Tahun 2003, PP Nomor 66 Tahun 2010, dan Permendikbudristek Nomor 36 Tahun 2014.
Ketua Komisi 5 DPRD Lampung, Yanuar Irawan (PDI-P), hingga kini enggan memberikan klarifikasi. Begitu juga anggota lainnya, Syukron Muchtar (PKS), tetap senyap. Kepala sekolah swasta menilai ketidakresponsifan ini semakin memprihatinkan, terlebih munculnya program SMK baru atas inisiatif Dewan Kesenian Lampung dan Dirjen Kebudayaan justru mengabaikan kebutuhan lembaga pendidikan masyarakat yang bergantung pada perhatian legislatif dan eksekutif.
Deni Ribowo, anggota Komisi 5 DPRD Lampung, yang awalnya diharapkan bisa menjadi penengah untuk melindungi eksistensi sekolah swasta, justru menjadi figur sentral dalam kontroversi ini. Para kepala sekolah swasta menilai langkahnya membuka jalur bagi sekolah negeri baru tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lembaga pendidikan masyarakat.
Polemik ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah DPRD Lampung benar-benar tutup mata terhadap masa depan pendidikan swasta, ataukah ini bagian dari “strategi diam” yang merugikan sekolah swasta?***